Sketsa Komedi (Nggak) Lucu - OVERTHINKING


“Aku pengin deh kaya orang-orang,” kata adik keduaku tiba-tiba.

“Kaya orang-orang gimana?” adik ketigaku ikutan nimbrung.

Aku cuma kedip-kedip doang sambil menyimak.

“Ya kaya orang-orang di twitter, pada overthinking kalau malem-malem,” jawabnya sambil makan Tango. Ini udah bungkus kelimanya. Memang maniak Tango dia orang. Ayo Tango, endorse kami!

“Kamu emangnya nggak pernah overthinking, Dek?” sekarang aku ikutan tanya ke dia.

Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, diikuti dengan gerakan kepalanya yang juga ke kanan dan ke kiri. Dia menggeleng. Artinya belum pernah, tangkapku.

“Nggak pernah. Makanya aku pengin!” ujarnya antusias. “Eh, pernah deh kayanya. Kayanya, sih.”

“Kayanya itu kapan?” adikku yang ketiga ternyata menaruh penasaran.

Aku masih tetep memantau.

“Waktu SD. Enam tahun yang lalu, ehehehehehe,” jawabnya sambil ketawa nggak niat tiga detik lalu kembali ke mode silent.

Yailah. Aku menepuk dahiku pelan. Pelan aja, ya. Kalau keras-keras nanti otakku ikut bergeser, kan repot.

Dengan mata sendu menahan gemes aku tanya ke dia, “Dek, overthinking-nya anak SD tuh kaya gimana coba?”

Dia memicingkan matanya ke sudut kiri sambil bergumam, “Um, contohnya tuh kaya ‘Eh, ini seragam aku enggak salah hari kan, ya?’ atau kaya 'Ini tugas yang aku kerjain bener di halaman sekian kan, ya?’ ya, yang gitu-gitu.”

Yailah. Aku menyukur alisku. Ya enggak lah. Aku mengusap ringan pelipisku aja.

“Dek, seragam kan udah jelas harinya. Hari Senin sama Selasa jelas pakai merah-putih, hari Rabu sama Kamis jelas pakai baju pramuka, hari Jumat sama Sabtu juga udah jelas pakai seragam khusus. Apanya yang bikin overthinking, sih?”

Semakin aneh cara berpikir anak ini.

“Terus nih, yang tugas salah halaman. Ya emang kenapa kalau salah? Kalau tugasnya kurang ya bilang aja salah halaman. Kalau kelebihan ya justru enak di kamu, kan? Ya nggak, Dek?” aku meminta persetujuan dari adikku yang ketiga. Kasian dia dari tadi cengo akut.

Dia yang kumintai persetujuan itu justru ketawa. Aneh banget, sih.

“Tapi kayanya dulu aku juga gitu. Tapi kayanya nggak terlalu begitu. Tapi aku biasa aja, sih,” dia akhirnya membuka mulutnya setelah menyebarkan droplet-nya waktu ketawa tadi.

“Nah, kan! Kamu kali Mbak yang aneh,” dia bahagia banget punya sekutu.

“Bentar, bentar. Kamu kebanyakan tapi, ah. Nggak efektif nanti kalimatnya,” sambil menunjuk bocah nggak tahu diri itu.

“Bukan gitu, Mbak. Aku waktu SD nggak yang segala macem di-overthinking-in. Tapi justru sekarang aku overthinking-an banget anaknya,” sahut anak kelas 9 itu sambil mengawang-awang. Dipikir langit-langit teras tua itu mendengar apa, ya?

Aku menengok diriku, “Ngobrol-ngobrol, aku juga overthinking-an sih anaknya. Ngelihat posting-an drama di twitter aja bisa overthinking sendiri.”

“Ck!” adikku semakin frustasi akibat gagal overthinking kaya orang-orang di twitter. “Pokoknya aku pengin overthinking!”

 

Begitulah seberkas obrolan kami bertiga soal overthinking sore itu di teras samping rumah. Setelah obrolan singkat yang terpaksa berakhir karena suara adzan masjid depan rumah Pak RT, aku jadi overthinking.

Biasanya, kita bakal overthinking kalau ada masalah-masalah yang menumpuk, ditambah lagi kita gagal menyelesaikannya. Pikiran akan bercabang ke mana-mana nggak tahu arah dan tujuannya. Ya mirip kamu yang lagi baca ini. Gimana? Hati sehat?

Kadang overthinking juga terjadi bahkan di saat kita mau tidur dan ada hal sepele yang mengganjal tapi tetap nggak ditemukan jawabannya. Misalnya, kenapa ya tadi dia balasnya pakai titik banget? Biasanya cuma titik aja. Atau, kantong ajaibnya Doraemon kan pernah basah tuh, nah barang-barang yang ada di dalamnya ikutan basah juga enggak, ya?

nb: Pokoknya hal-hal yang sepele nan nggak penting lainnya.

Asal jangan sampai overthinking mikirin dia yang bahkan ngelirik kamu aja harus bersuci dengan air mengalir tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Apalagi overthinking mikirin dia yang mau jawab cinta kamu aja pakai minta waktu selama 10 tahun.

 

Berminggu-minggu kemudian.

“Mbak, bedanya halilintar sama petir apa, ya?” adik ketigaku tiba-tiba bertanya kepadaku.

Aku yang duduk di sebelah dia langsung menengok. Bocah itu lagi mengedip-kedipkan matanya dengan tidak unyu sama sekali.

“Kenapa tiba-tiba mikirin itu?” sahutku sambil mengernyitkan dahi.

Dia cuma mengedikkan bahunya. Lalu mata kami secara bersamaan mengarah ke seonggok manusia berjenis kelamin perempuan yang sedang duduk di lantai, kebetulan dia juga saudara kami.

“Dek, mau overthinking, kan?”

Dia mengalihkan pandangannya dari layar handphone-nya sejenak. “Apaan?”

Aku memberi tanda kepada adik ketigaku dengan mengedikkan daguku ke arah manusia itu.

“Perbedaannya halilintar sama petir apa, Mbak?” ulangnya lagi.

Manusia itu memandang tanpa minat seraya berkata, “Ya nggak tahu,” lalu kembali pada layar handphone yang screen guard pecahnya udah jadi wallpaper alami itu.

“Lah, gimana sih? Katanya pengin overthinking? Ini loh difasilitasi,” ujarku padanya.

“Nggak mau mikirin itu,” jawabnya singkat tanpa memandang kami.

Aku sama adikku cuma saling pandang satu sama lain. Untung kami saudara. Untung sama-sama cewek. Kalau nggak gitu kan berabe.

Kami jadi lupa mau overthinking gara-gara manusia satu yang ajaib itu. Ck!

 

Poin penting: Jangan sok-sokan mau overthinking kalau mikir aja males. Berbahagialah kalian yang males mikir! Udah, fokus bertahan hidup aja!


Comments

Popular posts from this blog

Johnny and Grandpa: Inside Our Solid Blood

HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL (Bagian 6: Balada Ospek Mahasiswa Cupu)

Randomly of Me: A New Beginning