HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL (Bagian 6: Balada Ospek Mahasiswa Cupu)

Hi! Welcome to my blog!

Saya pertama kali ikut oksep eh, ospek itu di tahun 2013. Udah lama, pakai banget. Agak mengingat-ingat sebenarnya. Tapi nggak papa. Mari kita coba mem-flashback ingatan tujuh tahun yang lalu. Oh, iya. Bahasan tentang ospek ini hasil dari pertanyaan bagian sebelumnya, HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL Bagian 5: Sebelum Negara New Normal Menyerang. Boleh dibaca dulu. Boleh dibaca lagi. Boleh dibaca intinya. 


 

 Here it is. Enjoy the joy!

 #1 OSPEK 2013

Hmmm, tujuh tahun yang lalu saya di mana, ya?


*Day 1*

Ospek pertama saya berlangsung selama tiga hari. Hari pertama adalah ospek universitas, dua lainnya ospek fakultas. Kami memulai hari dengan lari-larian dari parkiran menuju halaman fakultas. Biar nggak telat ceritanya.

Kami berlima ratus lima puluh orang (sekitar segitu) kemudian berbaris di depan gedung fakultas. Kami berbaris menurut jurusan masing-masing. Fakultas saya punya sepuluh jurusan. Jurusan saya, pendidikan matematika, ada di baris paling kiri, dapat rindangnya pohon, dan paling dekat dari parkiran. Barulah setelahnya, para mahasiswa baru ini disambut oleh panitia dan melalui hari dengan berbagai kegiatan yang udah tercantum di rundown acara.

Tapi, itu semua adalah rutinitas mahasiswa yang baik dan taat aturan. Noted!

Saya termasuk mahasiswa baru yang bandel. Selama tiga hari ospek, saya cuma nggak telat di hari ketiga. Hari pertama dan kedua saya biarin telat. Alasan? Malas bangun pagi.

Jarak rumah ke kampus memakan waktu sekitar 30 menit. Saya harus sampai kampus pukul 05.30 WIB. Artinya, maksimal saya harus berangkat pukul 05.00 WIB. Itu aja kalau nggak perlu cari tempat parkir motor plus lari-lariannya. Dengan demikian, saya harus berangkat sebelum pukul 05.00 WIB. Malas, kan? Enggak, ya? Berarti emang sayanya aja yang pemalas.

Ternyata mahasiswa baru yang bandel nggak cuma saya. Ada banyak banget yang telat juga. Tapi, saya aman di hari pertama. Kakak penanggung jawab ketertiban ngasih kami keringanan buat yang telat kurang dari 5 menit. Saya termasuk. Oleh karena itu, saya boleh masuk barisan para mantan mahasiswa baru.

Kegiatan di hari pertama cukup monoton. Para mahasiswa baru ditempatkan di auditorium universitas untuk melihat UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang sedang tampil. Ada UKM Paduan Suara yang tampil nyanyi, UKM Pencak Silat yang unjuk jurus, sampai UKM Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang wall climbing. Ya, iya dong. It’s obvious. What did you expect, then?

Hari pertama diakhiri dengan kembali ke fakultas masing-masing. Yap, hari pertama kelar.

 


*Day 2*

Hari selanjutnya, hari kedua, punya sejarah tak terlupakan. Masih sama kaya sebelumnya, saya telat. Kali ini, saya nggak lolos. Alasannya sih, karena kemarin saya juga telat. Emang odong saya tuh. Lalu, saya disuruh baris di barisan khusus bareng-bareng sama mahasiswa yang kemarin juga telat.

Tiba-tiba ada kakak panitia lain yang datang dan langsung ambil alih barisan saya. Dia bilang ke kami gini, “Oke, langsung aja, ya. Saya punya penawaran. Kalian akan saya bebaskan dari hukuman, kalau kalian naik ke panggung depan fakultas dan orasi di depan teman-teman kalian. Gimana?”

Nggak ada satupun dari kami yang mau. Buat apa, kan?

Dia mulai mendatangi kami satu per satu. Ditanyain satu per satu. Tetap nggak ada yang mau. Eh, pas giliran saya, dia langsung nyuruh saya, “Nah, ayo kamu aja yang orasi!”

“Orasi tuh kaya gimana, kak? Saya nggak tahu.” Dengan ekspresi datar, saya jujur aja ke dia, karena emang nggak pernah tahu orasi kaya apaan. Entah karena muka saya yang judes bin songong kali, ya, dia langsung narik tangan saya nyuruh ke depan. Plis, ya. Di sini nggak ada cerita dengan bumbu-bumbu romantis gitu. Hidup saya nggak sesinetron itu. Pait.

Singkatnya, saya akhirnya naik ke panggung depan fakultas. Disaksikan lebih dari lima ratus pasang mata, saya paksakan untuk ambil mikrofon. Biar agak kelihatan biasa aja tampil di depan mereka semua, saya dengan percaya diri setinggi Monas mengucap salam dan memperkenalkan diri. Sambil teriak. Yang saya tahu waktu itu, orasi harus teriak-teriak.

[Sampai di sini kalian harus tahu, memperkenalkan diri secara formal saat orasi itu nggak dianjurkan. Bisa bayangin nggak gimana saya kenalan secara formal sambil teriak? Mungkin karena itu kali ya, sampai sekarang hilal jodoh saya belum kelihatan (?)]

Teriakan saya kembali terdengar, “Saya dari jurusan Pendidikan Matematika. Pendidikan Matematika, mana suaranyaa?!” Tolong jangan dihujat. Saya emang nggak tahu dasar-dasar orasi. Tapi mereka semua juga pada menyambut, kok. “Huuuuuuu!” Gitu.

Di tengah kebingungan saya mau orasi dengan tema apa, saya mendadak ingat kalau saya dulunya sekolah di SMA Adiwiyata. “Saya di sini mau ngomongin biopori! Ada yang tahu biopori itu apa?!” Sumpah, saya cupu banget!

[Kalian ngerti biopori, nggak? Itu loh, lubang yang biasa dibuat di sela-sela konblok biar air tetap bisa meresap ke dalam tanah.

Biopori (source: kaskus)
 
Kaya begini resapannya (source: Grid.ID)

Terus, SMA Adiwiyata tuh SMA yang berbasis lingkungan gitu. Saya dulu sekolah jadi siswa merangkap tukang kebun.]

Setelah saya ngomong begitu, nggak ada satupun mahasiswa di depan saya yang paham. Baru mau narik napas untuk ke kalimat selanjutnya, tiba-tiba sekitar lima meter dari arah jam 11 ada kakak panitia teriak, “Woy dek! Kamu itu ngapain? Kamu itu disuruh orasi! Bukan pildacil! Hahahaha!”

 Emoji, emoticon, emoticons, expression, face icon

Saya masih mempertahankan ekspresi datar saya, biar nggak dikira lagi malu malu singa. Padahal di dalam hati udah kebelet pengin nampol. Saya tanya balik, “Emang orasi tuh kaya gimana, kak?” dengan masih pegang mikrofon. Kakak panitia yang tadi narik saya dan nyuruh saya orasi langsung datang. Dia minta temannya yang memang orator buat ngasih tips ke saya gimana caranya orasi yang baik dan benar. Setelah dikasih tips, saya ngangguk-angguk aja. Aslinya? Tetap nggak paham juga.

Selamatlah saya dari malapetaka itu setelah saya disuruh balik ke barisan. Fyuuh!

Agenda hari kedua juga cuma mendengarkan pengarahan dari beberapa dosen tentang pelaksanaan perkuliahan. Terus ada beberapa lomba yang diadakan. Saya sok-sokan ikut lomba karya tulis ilmiah. Saya kira akan jadi gampang. Eh, waktu disuruh menuliskan sebuah latar belakang karya tulis ilmiah, saya malah mengarang bebas. Saya nggak ingat nulis apaan dulu. Ya jelas nggak menang lah. Nggak perlu ditanya. Nggak perlu dibahas lebih lanjut.

 


*Day 3*

Hari berikutnya, hari ketiga, satu-satunya hari yang sayanya enggak telat. Mungkin karena kejadian hari kedua yang memalukan, akhirnya saya memaksakan diri biar nggak datang telat. Anyway, saya tetap datang di menit-menit akhir. Cuma beda tipis, tapi nggak papa.

Saya lumayan beruntung karena barisan jurusan saya adalah barisan yang paling dekat dari parkiran. Saya nggak peduli apapun, yang penting saya masuk barisan.

Akhirnya, saya bisa masuk barisan. Di belakang. Bareng sama anak-anak cowok.

Waktu ada pemeriksaan bawaan, ada teman saya, cowok, lupa nggak bawa air minum. Kebetulan waktu itu saya bawa dua botol. Yang satu memang saya siapkan malam sebelumnya. Yang satunya karena saya kelupaan nggak ngambil bekas bekal kemarin di tas, isinya tinggal sepertiganya.

Saya ambil botol pertama, yang masih utuh, lalu saya pinjamkan ke dia. Saya bilang ke dia kalau saya punya dua botol. Setelah botolnya pindah ke tangan dia, kakak yang memeriksa bawaan datang. Kami berdua selamat. Lagi, plis nggak usah ngadi-ngadi bakal ada percikan api asmara. Enggak ada. Saya udah bilang, kan? Hidup saya nggak sesinetron itu. Pait.

Setelah pemeriksaan bawaan selesai, beberapa mahasiswa cewek yang di belakang diminta maju ke depan. Jadi, posisi tiap barisan itu diatur supaya mahasiswa cewek ada di depan, lalu mahasiswa yang cowok menyambung di belakang cewek. Saya pun pindah.

Bentar, kaya ada yang kurang. Apa, ya? Botol! Botol saya yang isinya penuh tadi masih di belakang. Botolnya Tupperware lagi! Bisa dicoret dari kartu keluarga kalau nanti pulang nggak bawa si botol!

Saya ambil kertas di binder saya, saya tuliskan begini, “Cowok yang bawa Tupperware hijauku tadi siapa ya? Yang waktu mau diperiksa panitia. Balikin dong.” Kertas itu saya kasih ke belakang saya, lalu ke belakangnya lagi, sampai ke anak cowok yang bawa botol tadi.

Saat itu, sejujurnya, saya lupa yang mana anaknya. Saya lupa mukanya. Jadi, saya rantingkan kertas itu. Selama kurang dari sepuluh menit, udah ada dua hal yang saya lupa. Satu, saya lupa sama botol. Dua, saya lupa sama muka cowok tadi. 

Beberapa waktu yang lalu ngubek-ubek kardus, nemu kertas ini.

Hari ketiga ini adalah hari terakhir ospek. Karena hari terakhir, kakak-kakak panitia ambil ancang-ancang untuk habis-habisan di sini. Kerasa banget dari pagi udah dibikin naik emosinya. Kaya, apapun yang dilakukan mahasiswa baru nih salah semua. Padahal sebenarnya, kegiatan di hari ketiga ini nggak beda jauh dari hari kedua.

Puncaknya adalah beberapa jam sebelum ospek berakhir. Banyak banget plot twist di akhir ospek ini. Kaya drama mahasiswa baru yang masih nggak tertib atribut ospek padahal udah di hari ketiga, sampai salah-salahan antar panitia. Jadi, skenarionya tuh, ada beberapa panitia yang marah-marahin mahasiswa baru, tapi ada juga beberapa panitia yang membela mahasiswa baru.

Ratusan mahasiswa baru itu seolah dipaksa untuk bersatu, untuk membela temannya yang dihina sama panitia, untuk berani melawan kesewenang-wenangan dari panitia. Pergolakan emosi perlahan muncul dari dalam diri para mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang sampai maju ke panggung depan fakultas dan ngebentak balik para panitia untuk membela teman-temannya. Banyak juga yang ikut satu suara di barisan belakang melawan para panitia yang ngeselin.

Di tengah semua chaos, hadirnya panitia yang baik dan membela para mahasiswa baru yang udah capek-capek selama tiga hari itu kaya oase di gurun. Ngademin. Apalagi, kakak panitia baik ini pakai nangis segala. Udah kaya nyata banget. Tensi naik turun nggak beraturan. Pokoknya emosi jiwa ancur banget di hari ketiga itu.

Setelah semua mahasiswa baru a.k.a peserta ospek kebingungan atas apa yang sedang terjadi di salah satu sudut kampus ini, akhirnya mereka semua membuka topeng “panitia”nya. Ternyata, di jajaran panitia tuh memang di-setting untuk ada yang jadi panitia galak dan ada yang jadi panitia baik. Tujuannya, biar mental para mahasiswa baru tuh terbentuk karena banyaknya tekanan. Biar mahasiswa tuh kritis lingkungan, sadar ada apa aja di sekitarnya. Biar mahasiswa tuh berani melawan kalau memang berada di pihak yang benar. Gitu yang saya tangkap.

Habis itu, banyak mahasiswa yang nangis karena terharu. Kayanya saya termasuk golongan yang nangis. Lemah banget saya.

Ya udah, gitu. Drama usai. Semua selesai. Sekarang bisa nyantai. Habis ini pasti bakal biasa aja kalau saya bilang, kaya di pantai. Makanya saya bilang aja kalau nggak ada yang tercerai berai. Karena tiba saatnya buat foto-foto, terus dibingkai. Nggak perlulah pose ala alai. Satu hal yang saya tau, saya kawaii.

Saya keren, ya?

Apasih!

Oke, cukup!

 

  


Ps (penting):

Namanya OSPEK, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Karena itu, waktu ospek sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengenal budaya perguruan tinggi, yang beda banget dari budaya sekolah menengah. Status aja meningkat, dari siswa jadi mahasiswa. Daya pikir dan pengelolaan diri juga meningkat dong. Harusnya.

Kalau mahasiswa baru yang sadar diri dan sadar tempat (nggak perlu sadar kamera), momen ospek ini tuh bisa jadi batu loncatan untuk membentuk habit di dunia perkuliahan sampai saatnya lulus nanti. Kalau mahasiswa baru yang nggak peduli apa-apa kaya saya gini mah, momen ospek, apalagi waktu pengarahan dari dosen (yang biasanya di kelas atau di aula) gitu malah dijadiin kesempatan buat tidur. Soalnya, malam sebelumnya ngerjain tugas ospek, jadi capek, deh. Sebuah pembelaan yang maksa.

Mungkin ada juga yang memanfaatkan momen ospek buat lirik sana lirik sini cari gebetan. Ya, nggak papa, sih. Bebas. Siapa tahu lewat adu pandang sama jurusan sebelah bisa berakhir dengan adu panco (?)

 

 

Ps (agak penting):

Cerita di bagian ini boleh di-share ke kenalan kalian yang tahun ini lagi mau ospek. Karena ospeknya lewat online, kalian para mahasiswa baru tahun 2020 pasti nggak akan ngerasain pergulatan emosi jiwa seperti cerita saya di atas. Tapi, saya nggak mau tanggung jawab kalau setelah baca cerita saya jadinya kalian malah pengin ngerasain ospek seperti yang seharusnya ospek diadakan. Muehehehe *ketawa jahat*

 

 

Ps (penting banget):

Karena saya mahasiswa di atas normal, saya pun juga merasakan ospek dua kali. Saya pengin cerita tentang ospek kedua saya. Tapi sampai di sini aja udah 1885 kata. Pengalaman ospek kedua tuh jadi sangat langka karena satu minggu sebelum saya di-ospek, saya jadi panitia ospek di kampus pertama saya. Ceritanya besok aja, ya! See you next week!


Comments

Popular posts from this blog

Johnny and Grandpa: Inside Our Solid Blood

Randomly of Me: A New Beginning