HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL (Bagian 5: Sebelum Negara New Normal Menyerang)

Cerita ini bermula setelah pengumuman SBMPTN 2015.

Eh, saya lupa belum greeting!

 

Hi! Welcome to my blog!

Kali ini saya akan menjawab pertanyaan dari postingan HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL Bagian 4: Pertanyaan Template yang Ngeselin (boleh diklik kalau belum baca). Gimana ceritanya bisa kuliah dua? Ting tong … Ehm, secara resmi cerita ini memang bermula setelah pengumuman SBMPTN 2015, sih. Tapi ada pre story-nya.

Kenapa sunrise? Karena saya akan membahas awal mula.
Foto ini diambil di Posong, Temanggung, Jawa Tengah.


Saya mulai kuliah di tahun 2013 sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika. Sebenarnya, saat itu, jurusan yang saya inginkan adalah jurusan Matematika. Lah, beda ya? Yep! Dua jurusan itu berbeda, sangat berbeda justru.

Jurusan Pendidikan Matematika menempatkan matematika sekolah yang biasanya kita pelajari di SMP dan SMA/SMK sebagai pokok bahasan. Sementara, jurusan Matematika memiliki beberapa konsentrasi di dalamnya: analisis; aljabar; geometri; statistika; ilmu komputer; dan terapan. Keenam konsentrasi itu memiliki ciri masing-masing. Tiap universitas bisa jadi juga mempunyai konsentrasi unggulan yang berbeda-beda. Mahasiswa jurusan matematika belajar lebih dalam pada konsentrasi yang diambil. 

Sederhananya, kalau jurusan Pendidikan Matematika mengupayakan lulusannya menjadi seorang pendidik atau bekerja di sektor pendidikan, lain halnya dengan jurusan Matematika yang mengupayakan lulusannya bisa berkarya atau bekerja di sektor non pendidikan. Jadi, jangan salah lagi, ya.

Saya kasih contoh. Tahu Jerome Polin, kan? Kalau belum tahu coba search di YouTube dengan user Nihongo Mantappu, atau search di twitter dengan user @/jeromepolin. Dia adalah mahasiswa Universitas Waseda, Jepang jurusan Matematika Terapan. 

Oke. Oke. Saya tahu kalau mungkin ada yang malas bolak-balik Blogger-YouTube-Twitter. Nih, saya taruh di bawah.

Channel YouTube Jerome Polin (boleh langsung klik)


Akun twitter Jerome Polin (boleh langsung klik)


Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya sebenarnya menginginkan kuliah di jurusan Matematika. Tapi ternyata, saat hari pengumuman SNMPTN tiba, ternyata saya diterima di Pendidikan Matematika. Sejujurnya karena saya nggak pengin jadi guru, saya agak nggak senang diterima di jurusan Pendidikan Matematika. 

Tapi pada akhirnya, saya mulai beradaptasi jadi mahasiswa baru di jurusan ini. Lalu, keikutsertaan saya di organisasi ekstra kampus cukup membuat kesibukan saya semakin berwarna. Ngomong-ngomong, semester pertama dan kedua ini saya lalui dengan 91,5% keberhasilan. Persentase ini beneran saya hitung pakai kalkulator. Tapi, kayanya kalkulatornya salah, deh. Nggak mungkin sebesar ini. Maafin kalkulator saya, plis!

Oh iya! Menjelang ujian akhir semester dua saya mengalami hal menarik. Akhir semester itu ternyata juga merupakan akhir dari kisah cinta saya. Bye mantan! Sekarang gue bahagia, yeay! 😂


Sebagai calon mahasiswa semester tiga, saya masih pengin masuk jurusan Matematika. Akhirnya saya nekat buat daftar peserta SBMPTN 2014. Saya memilih jurusan Matematika seperti yang saya inginkan. Tapi, ternyata gagal.

Kegagalan saya itulah yang membuat saya akhirnya menyerah dan mau nggak mau harus menerima keadaan bahwa saya harus menghabiskan pendidikan sarjana saya di Pendidikan Matematika. Setelah itu, saya berusaha keras untuk menyamankan diri saya sendiri. Cara saya cukup efektif dengan ikut serta dalam beberapa kepanitiaan dan juga dalam tim paduan suara kampus.

Informasi (nggak penting): sekarang saya pede kalau disuruh nyanyi Indonesia Raya dengan benar.


Setelah saya mulai terbiasa dengan kehidupan mahasiswa Pendidikan Matematika dengan segudang aktivitasnya, tiba-tiba di suatu hari yang cerah untuk jiwa yang sepi Bapak bilang ke saya, “Kamu bener-bener nggak mau daftar lagi? Ini hari terakhir, loh! Kesempatan terakhir juga, kan?”

Saya dengan mantap bilang enggak. Eh, tiba-tiba Ibu saya dari dapur teriak, “Sana coba aja daftar, nanti Ibu bayarin daftarnya!” Saya langsung menoleh ke Ibu sambil menampilkan ekspresi bingung. Ibu bilang lagi, “Iya, tapi nanti pilihan pertamanya PGSD, ya!”

Waduh, pada zaman itu kata overthinking belum sebanyak sekarang. Kalau udah ada kata itu pasti di deretan media sosial saya bakal penuh dengan kata overthinking. Saya berpikir lama, yaaa kira-kira tiga setengah menit lah saya mikirin itu.

Akhirnya, saya memutuskan untuk ambil kesempatan terakhir untuk daftar ujian SBMPTN di hari terakhir pendaftaran. Setelah bersiap, saya meluncur ke bank untuk membayar biaya pendaftaran. Waktu itu masih Rp100.000,00 tuh, kalau sekarang berapa, ya? Coba tanya sama Mas Anang.

Umumnya, bank akan tutup pukul 4 sore. Saya sampai di bank yang dituju sekitar pukul 2 siang. Ya, benar-benar di jam-jam terakhir.

Sampai di rumah, saya membuka laman pendaftaran dan mengisi borang pendaftaran, bersama bapak dan ibu saya! Benar-benar di bawah kontrol mereka, eh, kayanya sampai sekarang. Sesuai rikues ibu saya, Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) menjadi pilihan pertama, sedangkan pilihan kedua dan ketiga masing-masing adalah Pendidikan Seni Musik dan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD). Sampai di sini saya bingung, kan saya nggak mau jadi guru, ya? Kok saya milih jurusan yang ketiga-tiganya pendidikan? Wah, ada yang aneh nih di saya hmm, kok saya baru sadar sekarang?! Tuh kan, saya beneran aneh.

Tidak lama kemudian, saya mengikuti serangkaian ujian, baik tulis maupun keterampilan. Permasalahan muncul pada saat ujian teori. For your information, jurusan PGSD, Pendidikan Seni Musik, dan PG-PAUD adalah jurusan-jurusan yang termasuk dalam program IPS. Saya yang notabene siswa jurusan IPA waktu SMA, dan tidak pernah belajar lagi tentang sosiologi, geografi, apalagi ekonomi, ya sangat bingung dengan soal yang harus saya kerjakan. Bermodalkan capcipcup kembang kuncup dipetik Pak Ucup, akhirnya saya memilih jawaban yang menurut saya paling benar. Nggak tahu deh kalau menurut pembuat soal yang mana yang benar.

Berdasarkan hasil pengerjaan soal-soal itu, sejujurnya jauh dalam hati yang terdalam, saya benar-benar tidak menaruh harapan terlalu banyak pada kesempatan terakhir saya ikut ujian SBMPTN itu. Apalagi waktu itu, jurusan PGSD merupakan jurusan yang memiliki peminat cukup tinggi. Passing grade-nya juga tergolong tinggi. Mau berharap pada jurusan Pendidikan Seni Musik juga agak berat mengingat waktu ujian keterampilan berlangsung saya cuma bisa main gitar dengan satu lagu aja. Itupun pakai nada natural. Mau pindah nada dasar aja saya nggak bisa. Emang sok-sokan saya, mah.

Akhirnya, ketika hari pengumuman tiba, saya pura-pura aja nggak tahu. Saya nggak pegang handphone sampai menjelang isya. Tahu kenapa? Ya karena sudah pesimis dengan hasil yang diperoleh lah, apalagi coba?

Tapi ternyata, Ibu saya sangat pengin tahu hasilnya. Saya udah coba meyakinkan beliau dengan bilang, “Nanti aja lah Bu lihatnya, paling juga nggak keterima, kok.” Saya pede banget kalau bakal nggak diterima.

“Memang udah kamu buka? Belum, kan? Ya udah, dibuka cepetan!” Ibu saya nggak mau kalah pemirsaaaa. Feeling seorang ibu tuh sepertinya memang didesain tajam. Ketika saya buka laman pengumumannya …

Ngggggg …

Muka saya mendadak pias. Saya nggak percaya sama apa yang saya lihat. Saya pandangi ibu saya, lalu saya lihat lagi ke layar handphone. Siapa tahu jadi berubah, kan?

Tapi ternyata enggak. Saya sampai nggak bisa berkata-kata. Sambil memasang muka penuh penyesalan dan senyum yang kikuk, saya arahkan layar handphone saya ke ibu. Layarnya mati! Ya enggaklah! Gimana, sih?


Guess what? Saya mau upload pengumuman penerimaaan itu. Dulu, saya pernah upload di instagram pribadi saya (sekarang jarang saya buka). Tapi, setelah saya cari, ternyata udah nggak ada sekarang. Entah saya hapus. Entah saya arsipkan. Ya udah, lah, ya.


“Waaaaah!!! Alhamdulillaaah! Tuh kan Ibu bilang apa?! Makanya dilihat dulu!”

Begitu reaksi pertama ibu saya. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan tiada tara, ya karena memang nggak ada Mbak Tara. Pokoknya saya nggak bisa mendeskripsikan lagi. Ibu saya sampai tepuk tangan segala. Setelah itu, Ibu teriak-teriak memanggil Bapak. Ceritanya mau laporan kalau anaknya lolos tes.

Reaksi pertama bapak juga nggak jauh beda dengan ibu. Bapak menyelamati saya dan mengusap kepala saya. Nggak pelan sodaraku, saya kaya lagi diacak-acak otaknya. Memang nggak selebay itu juga, sih, saya yang lebay.

Tapi, satu hal yang dapat saya simpulkan. Orang tua saya bahagia banget lihat saya berhasil.

Ibu kemudian tanya ke saya, “Gimana? Mau diambil apa enggak? Tapi, kalau Ibu sih mending diambil, nggak semua orang punya kesempatan kaya kamu begini. Eh tapi, kamu mampu nggak kuliahnya jadi dua?”


Sama seperti waktu saya berpikir saat menentukan mau ikut tes atau enggak tadi, saya juga butuh waktu lama untuk memikirkan jawaban pertanyaan ibu saya ini. Kalau tadi saya butuh waktu tiga setengah menit, kalau sekarang yaaa lima seperempat menit lah.

Seperti bahasa cinta antar suami-istri yang berbeda-beda, bahasa cinta anak ke orang tua pun juga berbeda-beda. Saya paham kalau kebahagiaan kita bukan tanggung jawab orang lain, begitu pula kebahagiaan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Nggak pernah ada yang salah dengan anak yang berbakti ke orang tua. Di sinilah saya berada. Lantaran orang tua saya jugalah saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Hidup enak tanpa lara. Rasa aman tanpa cela. Saya ngerasa bahagia lihat orang tua saya bahagia. Bahasa cinta itulah yang membuat saya menganggukkan kepala dan meyakinkan orang tua saya bahwa saya mampu untuk bisa kuliah dua.

Sampailah saya pada sebuah HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL. Sekian.

 

 

 

Q: Ospek kuliah tuh asik nggak, sih?

A: Waduuuh! Banyak banget momen-momen ospek yang sampai sekarang belum bisa saya lupakan. Tapi, yang jelas, ospek itu seru! Tunggu ceritanya minggu depan, ya!

 

Comments

Popular posts from this blog

Johnny and Grandpa: Inside Our Solid Blood

HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL (Bagian 6: Balada Ospek Mahasiswa Cupu)

Randomly of Me: A New Beginning