Sebuah Kisah: Sedu di Bulan Juli
![]() |
Sapardi Djoko Damono (Gramedia) |
Sedu di Bulan Juli
Hari ini, tanggal 19 Juli 2020, seorang maestro sastra di Indonesia
berpulang. Eyang Sapardi Djoko Damono. Setelah memperoleh kehidupan di bumi
selama 80 tahun, kini telah damai di sisi-Nya. Salah satu sosok dibalik
kembalinya rinduku akan sastra yang telah terkubur dalam kenang.
Hujan di Bulan Juni telah habis, namun ternyata sedu sedannya terasa sampai
di Bulan Juli. Seorang yang hingga akhir hayatnya berkarya laksana masih muda. Minuman Keras adalah karya terakhir yang belum sempat lahir dari tangannya.
Mimpi yang singkat
Sebuah cerita yang akan selalu hadir dalam angan ketika nanti karya-karya
besar bermunculan. Aku, salah seorang yang punya banyak mimpi. Mimpi untuk
menghasilkan suatu karya. Mimpi untuk memiliki karya yang dapat dinikmati
banyak manusia lain.
Dua belas tahun yang lalu, pertama kali aku menuliskan paragraf-paragraf khas
anak SMP. Meruntut kisah demi kisah yang kuambil dari sisi kanan dan kiri
kehidupan. Hanya berselang bulan, embrio itu gugur. Aku lupa. Aku terlena akan
sibuknya sekolah.
Kini, aku menyesal. Mengapa tidak ku lanjutkan. Mengapa tak ku selesaikan.
Satu per satu mimpiku lenyap. Banyak sekali mimpi yang sirna. Tenggelam di
antara lautan tugas-tugas sekolah yang bahkan hingga kini tak banyak yang kubutuhkan.
Hanyut dalam angan, lalu hilang. Poof!
Gugurnya embrio
Komputer kesayangan mati. Cikal dari semua mimpi buruk terjadi. Rajutan mimpi
kembali terurai. Bersela-sela longgar dari tengah hingga tepi.
Cerita yang entah sampai bagian mana. Tak ada satupun yang mengingatnya. Tidak
juga aku. Pun aku, salah satu alasan mengapa ia musnah. Aku tidak pernah merasa
ia spesial. Layaknya coretan ujian matematika yang setelahnya dibuang, tidak
penting. Tapi, sekarang aku merugi.
Bertahun lamanya aku melupa. Merasa tidak pernah ada dalam suatu masa
dimana alfabet mengisi kesepuluh ujung jariku. Merasa tidak pernah menaikkan kaca
mata yang perlahan turun karena melihat layar komputer dan keyboard bergantian.
Padahal, itu adalah rutinitas ketika matahari perlahan meninggalkan puncaknya.
Hilang. Sudah hilang.
Merangkak naik
Bermula dari sebuah gempuran oleh makhluk tak kasat mata, tapi ada. Membuat
para manusia bumi rela menahan diri. Berusaha mengabaikan nafsu duniawi. Serentak
saling menyebarkan semangat pada insan lain. Saling bahu membahu atas nama kemanusiaan
yang mungkin selama ini mulai dilupa.
Pandemi ini mampu membuka mata. Mengingatkan bahwa kita hidup di alam ini tidak
sendiri. Ada milyaran spesies yang juga membutuhkan keseimbangan. Tak hanya manusia.
Semesta pun juga. Kita ingin hidup damai di dunia. Tapi, mampukah kita mencipta
damai dan mengelaborasinya?
Aku merasakan juga. Berdiam diri seakan hal yang mencekam. Setelah sebelumnya
ke sana ke mari mencari arti keberadaan. Belum juga ditemukan, tetapi harus
mengikuti kehendak alam.
Tak ada kegiatan pasti. Pekerjaan normal juga menanti. Sibuk mencari jalan
lain untuk mengisi. Membuat mimpi-mimpi yang sebelumnya lenyap tanpa residu, mulai
muncul dan mengadu. Setelah dua belas tahun berlalu, apakah saat ini adalah
saat yang tepat untuk memulai semua rindu?
Jawab yang (mungkin) tepat
Aku menemui sebuah jawab saat santai dan menggerakkan jariku di atas
handphone. Menemukan akun pribadi seorang Sapardi Djoko Damono yang sepertinya
sibuk me-retweet cuitan-cuitan yang tertuju padanya. Seketika mengingat
semua pertanyaanku sebelumnya. Mengapa aku tidak mencoba membuat suatu karya?
Tidak ada kata tua untuk berkarya. Semua berhak melakukannya. Aku. Kamu. Dia.
Mereka. Kita semua sama. Ingin diakui untuk sebuah karya. Apapun itu. Hanya ada
satu ganjalan. Kepercayaan terhadap diri sendiri.
Aku mulai mencari jenis karya apa yang memungkinkan aku membuatnya. Aku tidak
pandai menggambar. Aku tidak bisa membuat video. Apalagi animasi. Hmm apa yang bisa
kulakukan?
Aku bisa menulis! Ah, aku yakin semua
orang bisa melakukannya. Bagaimana tulisanku akan mereka terima?
Aku meyakinkan diriku lagi. Semua butuh proses. Begitupun aku. Setelah lama
tidak menulis, ternyata kemampuanku sangat buruk. Aku bahkan tidak ingin membacanya.
Bagaimana mereka bisa membaca tulisanku kalau begitu?
Kecamuk badai menghantam otakku. Aku berpikir dan masih terus berpikir. Apakah
menulis seperti yang dilakukan Eyang Sapardi Djoko Damono adalah sebenar-benarnya
jawab?
Tapi pada akhirnya, aku tetap melakukannya. Aku menulis.
Terima kasih Eyang Sapardi, engkau memberiku inspirasi. Meskipun singkat,
tapi mampu membuat aku berani menyuarakan sebuah karya. Semoga semua berjalan
baik. Selamat berpulang, Eyang. Salam hormat dariku.
Comments
Post a Comment