Agama vs Pancasila, Who is the Winner?
AGAMA VS PANCASILA, WHO IS THE WINNER?
Religion.
Apa peran agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Setiap manusia
mempunyai kodrat untuk ber-Tuhan. Seperti halnya masyarakat Indonesia yang
diberi kebebasan untuk beragama. Meskipun demikian, Indonesia tidak termasuk
jenis negara yang kehidupan bernegaranya di setir oleh agama. Indonesia tidak
juga melarang atribut-atribut keagamaan pada warganya.
Kodrat
manusia untuk ber-Tuhan memengaruhi kehidupan bernegara seseorang itu sendiri.
Reaksi keberagamaan yang fundamentalistik ternyata memicu konflik, baik antar
agama lain ataupun antar penganut agama tersebut. Konflik yang ditimbulkan
seakan hanya dipandang sebagai masalah atau problema yang umum terjadi di
masyarakat. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah ketidakmampuan seseorang
untuk mengerti mengenai proses beragama orang lain. Kebanyakan konflik yang
terjadi hanya lah masalah sepele dan sebenarnya tidak mendasar apalagi masuk
akal. Masyarakat yang masih awam mengenai pengetahuan agama menjadi peluru yang
tajam dan siap ditembakkan kepada organisasi masyarakat lain yang tidak
sepaham. Toleransi yang terdapat dalam kitabullah ternyata belum masuk dalam
hati para penganutnya. Tertera jelas pada kitabullah bahwa, “Bagimu agamamu,
dan bagiku agamaku”. Namun agaknya kalimat indah ini hanya masuk ditelinga
kanan dan kemudian keluar lagi melalui telinga kiri tanpa sedikitpun tercantol
dalam hati para masyarakat awam. Berlandaskan apa yang mereka pahami mengenai
agama kemudian mereka menjadikan agama sebagai pemecah manusia.
Sebuah
kelompok yang terdiri dari beberapa komunitas kecil yang hidup rukun dan
tenteram dalam suatu wilayah boleh jadi hidup sebagai bara arang yang
sewaktu-waktu menyalakan potensi api amarah. Provokator berperan dalam
penyalaan bara arang ini sebagai pemanas pihak-pihak terkait. Hanya menunggu
waktu kapan bom atom akan meledak dalam kehidupan mereka. Kehidupan
bermasyarakat yang semestinya sanggup menyempurnakan hidup mereka boleh jadi memunculkan
sekat-sekat tak diinginkan. Dari manakah sekat itu? Sekat –sekat tersebut tercipta
karena perbedaan paham antara pihak-pihak terkait. Perbedaan yang seharusnya
menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih indah, namun yang
terjadi adalah sebaliknya. Kerusuhan tak terkendali seolah perompak yang merompak
bahtera berisi penuh harta karun.
Toleransi
untuk menghargai dan mengakui keberadaan orang lain di dalam kehidupan kita
dibutuhkan untuk membentuk pola pikir yang benar mengenai orang lain tersebut.
Pola pikir para masyarakat awam yang memandang suatu perbedaan kecil sebagai
perbedaan mendasar dan harus diperangi adalah
pola pikir yang menge-cap orang lain sebagai musuh. Pola pikir seperti ini
mampu membahayakan eksistensi kehidupan bermasyarakat. Pola pikir yang dimaksud
adalah cara pandang seseorang kepada orang lain sebagai rekan. Toleransi
sebagai lem untuk merekatkan hubungan antar masyarakat tidaklah cukup apabila
tidak disertai dengan saling memahami antar masyarakat itu sendiri.
Kerusuhan-kerusuhan
yang ditimbulkan oleh masyarakat yang tidak tahu menahu mengenai sebab awalnya
bak rumput kering yang dibiarkan terbakar habis. Ketidaktahuan dan
ketidakmampuan masyarakat untuk menghargai dan memahami orang lain menjadi
suatu musibah tersendiri. Lain halnya ketika masyarakat hidup dengan rukun dan
mereka mampu untuk menghargai perbedaan dan mampu memahami mengapa perbedaan
itu dapat tercipta, api sebesar apapun jika rumput itu basah, tak akan mungkin
dapat terbakar.
Tinggalkan
sejenak mengenai permasalahan yang tak kunjung usai itu, karena yang terpennting
adalah penyembuhan masyarakat dari stereotype-stereotype yang berada di
belakang mereka. Sekarang kita beralih pada sejarah kepemimpinan di Indonesia.
Pada
saat Soekarno berkuasa, terjadi penyimpangan terhadap Undang-undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa Soekarno adalah presiden seumur hidup. Statement ini
lahir karena suatu sebab. Ketakutan yang berlebihan yang dialami oleh Soekarno
menjadi sebab mendasar lahirnya statement ini. Soekarno bercita-cita untuk
merevolusi Indonesia menjadi negara yang penuh dengan kemakmuran. Hal ini lah
yang menyebabkan Soekarno takut apabila pemimpin sesudahnya tidak mampu
melanjutkan tonggak estafet perjuangan dan pergerakannya. Memang, demokrasi.
Namun, terpimpin. Dan pimpinannya adalah Soekarno sendiri.
Lain
halnya pada masa Soeharto menjabat. Dengan sistem yang otoriter, sentralisasi
dan militerismenya, Soeharto mampu meminimalisir kerusuhan agama dan pancasila.
Tak banyak pemberitaan beredar dengan mengusik birokrasi yang ada. Karena
mengusik birokrasi sama saja dengan memasuki mulut singa. Sehingga lembaga
eksekutif, legislatif maupun yudikatif hanya menurut pada perintah sang
presiden.
Pada
pemberontakan reformasi 1998, terciptalah kebebasan di segala bidang. Namun,
efek samping dari semua kebebasan yang diterima bangsa Indonesia adalah mulai
menjamurnya korupsi dan nepotisme (political
dynasty) yang fundamentalism. Pada masa ini, evolusi korupsi terjadi
besar-besaran. Ibarat sawah yang subur dan dan sedang ditanami padi. Padi
memang akan tumbuh subur, namun rumput liar yang menyertainya tak kalah subur
dari padi tersebut.
Masalah-masalah
muncul berturut-turut seiring terbongkarnya birokrasi yang telah bobrok pada
zamannya. Hingga masalah tersebut seperti penyakit yang tak kunjung diobati,
semakin meraja lela menerobos pagar revolusi.
Sebenarnya
bagaimana posisi agama dan pancasila di Indonesia? indonesia memang bukan
negara sekuler yang rigid (kaku) dan tidak memperbolehkan penggunaan atribut
keagamaan di public space. Namun,
Indonesia lebih kepada sekulerisme moderat. Sehingga agama dan negara memiliki
fungsi yang saling berkait. Agama membutuhkan negara dan negara membutuhkan
agama. Agama-politik-ekonomi menjadi urusan dari negara. begitupun sebaliknya,
hukum di negara menjadi obyek dari agama. Itu sendiri.
happy reading :)
Comments
Post a Comment