DEMOCRACY OR DEMOCRAZY? (part II)
Seperti yang telah saya
tuliskan pada artikel sebelumnya, demokrasi (dalam bahasa Inggris: democracy) di Indonesia telah berganti
menjadi democrazy (demokrasi yang
gila). Demokrasi pancasila yang pada hakikatnya adalah demokrasi dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat kini bertransformasi menjadi demokrasi liberal.
Demokrasi liberal
sangat berbeda dengan demokrasi pancasila. Musyawarah untuk mencapai mufakat
adalah salah satu asas dari demokrasi pancasila. Sedangkan pada demokrasi
liberal cenderung memakai prinsip voting sehingga pemakaian voting ini
menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial.
Jika kita menilik
kembali pada masa Presiden Soekarno ataupun pada masa Presiden Soeharto
berkuasa, demokrasi yang sebenarnya tidaklah tercipta. Pada masa Presiden
Soekarno misalnya, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin adalah kerudung
dari demokrasi yang sebenarnya. Kerudung di sini bermaksud penutup dari
demokrasi yang sebenarnya, atau dengan kata lain demokrasi terpimpin merupakan
kebohongan demokrasi. Otoritas menjadi asas penting dalam demokrasi terpimpin.
Semua keputusan berada di tangan presiden, dan presiden adalah pemimpin seumur
hidup. Presiden Soekarno bertindak bak seorang raja kala itu. Beliau lebih
menekankan kepemimpinannya terhadap dirinya sendiri dan percaya bahwa tidak ada
seorang pun yang mampu memimpin Indonesia seperti dirinya. Bahkan di saat-saat
terakhirnya, Beliau mengeklaim dirinya sendiri sebagai presiden Indonesia
seumur hidup. Hal ini sangat bertolak belakang dengan asas demokrasi.
Lain halnya dengan masa
kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada masa awal pemerintahan Beliau memang
mencerminkan kesederhanaan dan kebijaksanaan. Namun pada tahun-tahun
setelahnya, kepribadian yang mencerminkan keserhanaan dan kebijaksanaan
tersebut tidak terlihat lagi. Hanya otoritas yang kemudian terlihat. Sistemlah
yang kala itu ditelusupi oleh Presiden Soeharto. Pemerintahan didominasi oleh
militer. Semua sendi pemerintahan tak luput dari kemiliteran. Pewajiban terhadap seluruh pegawai negeri
sipil serta tentara untuk memihak kepada Golongan Karya menjadikan demokrasi
kala itu tidak berjalan seperti seharusnya. Dengan adanya pewajiban tersebut membuat
Golongan Karya memenangkan pemilihan umum secara mutlak dan Ketua Umum Golongan
Karya yaitu Soeharto terpilih
menjadi pemimpin (lagi). Diterapkannya sistem tersebut membuat tidak berubahnya
susunan kepemerintahan Indonesia. Para rakyat yang telah digembungkan perutnya hanya menurut saja apapun kata pemimpin pada
masa itu. Demokrasi kala itu terlihat seperti alat kebohongan publik yang
diciptakan oleh Presiden Soeharto. Bagaimana tidak? Tidak perlu dilakukan
pemilihan umum pun sesungguhnya hasil telah dapat diketahui. Terlalu banyaknya
kebohongan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto menjadikan kontroversi dan
pemberontakan terjadi di seluruh pelosok negara seiring bertambah pengetahuan
rakyat mengenai hal yang benar dan hal yang salah.
Pada prinsipnya, kedua
pemimpin di atas adalah sama. Keduanya sama-sama ingin membangun Indonesia
menjadi yang lebih baik (menurut pemahaman masing-masing tentunya). Namun
keduanya juga memiliki prinsip tidak boleh mengkritik pemerintah, tidak boleh
menentang pemerintah dan tidak boleh melawan pemerintah. Keduanya juga
sama-sama otoriter, sehingga demokrasi tidak dapat diterapkan seutuhnya pada
masa pemerintahan keduanya.
Beralih pada masa kini,
demokrasi Indonesia sudah lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu. Saking
demokrasinya Indonesia, multipartai yang diterapkan di Indonesia menjadikan
partai politik sebagai alat untuk menguasai sesuatu. Mantan Presiden
Abdurrahman Wahid atau lebih sering dipanggil Gusdur selalu menyatakan bahwa
adanya partai politik mempunyai maksud untuk mewarnai negara ini, jadi bukanlah
kemenangan yang dicari melainkan kesejahteraan negara itu sendiri. Namun
agaknya pendapat yang demikian ini tidak berefek pada kehidupan politik era
sekarang. Anomali telah banyak menghinggapi idealitas dan realitas. Sikap-sikap
pura-pura bodoh, apatis, acuh kini mulai berkembang. Akibatnya? Korupsi semakin
merajalela, sifat malas mulai terlihat pada para wakil rakyat yang hanya ingin
enaknya tanpa berusaha. Racun-racun akibat kemapanan telah bersarang di tubuh
para wakil rakyat yang tidak berkompeten. Demokrasi pancasila dengan musyawarah
mufakat-nya tergantikan oleh demokrasi liberal dengan voting-nya.
Seperti inikah gambaran
Indonesia di masa yang akan datang? Seperti inikah sikap orang Indonesia
tercermin? Serapuh inikah demokrasi di negara yang makmur ini?
Teriakan demi teriakan
tentang demokrasi terus bergulir. Tuntutan keadilan terjadi di seluruh pojok
negara. Demokrasi harus disembuhkan mengingat dasar negara Indonesia memuat
prinsip demokrasi. Demokrasi pancasila yang di alamatkan pada zaman ini harus
diperjuangkan nasibnya. Demokrasi seharusnya dikembalikan kepada rakyat. Karena
demokrasi berasas dari rakyat, oleh rakyat dan tentunya untuk rakyat.
happy reading :)
happy reading :)
Comments
Post a Comment