RAKSASA, KURCACI DAN PANCASILA
Pancasila sebagai dasar
pemikiran bangsa Indonesia tentunya juga memengaruhi perekonomian di negeri
ini. Deskripsi bagaimana hebatnya para founding
fathers kita membentuk sebuah dasar negara yang benar-benar mencerminkan
Indonesia sangat luar biasa. Indonesia sebagai negara yang masih “baru” begitu
berani mengangkat berbagai pencerahan bagi dunia. Mulai dari ideologi, ideologi
Indonesia yang sangat berbeda dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia saat
ini. Menggabungkan ideologi-ideologi besar dunia bukanlah sesuatu yang mudah.
Namun hal ini ada di Indonesia, dan karena istimewanya Indonesia yang memiliki
orang-orang hebat seperti Soekarno dan Hatta.
Setelah ideologi,
gebrakan pun menjamah ranah perekonomian. Sistem perekonomian Indonesia diberi
nama Ekonomi Pancasila. Hadirnya Ekonomi Pancasila bukanlah tanpa sebab atas suatu
hal. Ekonomi Pancasila muncul karena adanya keterpaduan antara dua sistem perekonomian
besar di dunia, yaitu Kapitalisme dan Sosialisme. Yang menjadi pertanyaan,
siapa tokoh di balik semua ini? Bapak revolusi kita, Soekarno.
Gambaran sistem Ekonomi
Pancasila tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dua aliran perekonomian besar di
dunia. Kapitalisme, pada umumnya negara yang menggunakan sistem perekonomian
ini juga menganut paham Liberalisme. Ciri utama yang ada di sistem Kapitalisme
ini adalah modal. Siapapun yang memiliki modal yang besar, maka dia
diperbolehkan untuk berinvestasi sebesar-besarnya pula. Inilah yang dinamakan
kepemilikan tunggal. Adalah legal jika sebuah perusahaan hanya dimiliki oleh
seorang yang memiliki modal. Privatisasi, itulah yang dilakukan para “vampire”
di negara Kapitalis. Menghisap darah rakyat kecil dan akan sukar untuk
dilenyapkan dari muka bumi ini. Yang paling penting, jika para kapitalis sudah
berhasil menggigit seseorang, maka seseorang itu akan bergabung menjadi
kelompok makhluk terkutuk.
Kestabilan perekonomian
bergantung pada pasar, karena pasar dikelola dan dikuasai oleh para kapitalis
maka jungkir balik pasar ini berdampak pada pasar bebas yang saat ini menjamur
di dunia serta persaingan bebas yang diperankan oleh para kapitalis itu
sendiri. Bagaimana pun caranya, jalan seperti apa yang harus ditempuh, mereka
para kapitalis akan bersaing secara bebas mencari celah lawannya dan kemudian
menutupnya dengan bantalan yang ia ciptakan sendiri. Akibatnya, kesenjangan
sosial di negara penganut Kapitalisme ini juga terasa sangat kental. Bagaimana
tidak? Menurut Kapitalisme, macam orang di dunia hanya ada dua, jika ia tidak
kaya maka sudah dapat dipastikan bahwa ia miskin. Bahkan karena pemilik modal
bebas mengembangkan investasinya, orang yang kaya akan semakin kaya dan menjadi
“raksasa”. Dan tentunya orang yang miskin akan semakin miskin dan menjadi
“kurcaci”. Kesenjangan sosial ini melahirkan pula disparitas ekonomi. Bagaimana
seseorang bertahan hidup di kala ekonominya terpuruk. Bagaimana seseorang akan
dianggap sukses apabila ia telah mampu menguasai pasar. Perbedaan-perbedaan
inilah yang menjadikan pertumbuhan ekonomi sebuah negara penganut Kapitalisme
menjadi sangat cepat hingga tak terkontrol.
Bagaimana peran serta
negara? Ya, negara hanya berperan sebagai penonton setia. Menonton bagaimana
“cerdasnya” para kapitalis merampok para rakyat kecil tak bermodal. Menonton
bagaimana “remuk redamnya” para rakyat kecil tak berdosa diluluh lantahkan
haknya oleh para Kapitalis. Karena negara hanya berperan sebagai penonton, maka
tidak ada subsidi yang digulirkan oleh pemerintah dan lebih menekankan pada
kerja usaha orang-orang yang berniat melambungkan modalnya. Retail-retail bak
membelah diri setiap detik sekali, terbukti di negara kita sendiri berapa
miliyar retail yang menjajakan produk asing dan bermerk? Bagaimana pula ia
membuat suatu tren yang mampu menyuntikkan bius nasionalisme sehingga
nasionalisme mereka seakan terhipnotis dan pingsan tak sadarkan diri?
Prinsip yang
sungguh-sungguh berbanding terbalik dengan Sosialisme. Negara penganut sistem
perekonomian ini pada umumnya juga menganut paham Komunisme. Karakteristik yang
dibangun oleh Sosialisme adalah prinsip kebersamaan. Kepemilikan tunggal sangat
ditentang oleh sistem perekonomian ini. Seluruh aset dikuasai dan dikelola oleh
negara sebagai milik komunitas bersama. Sentralistik dan komando, negara
memiliki wewenang penuh untuk mengatur perekonomian negara. karena sistem yang
digunakan adalah sistem sentralistik dan komando, maka pertumbuhan ekonomi di
negara penganut Sosialisme menjadi sangat lambat. Kesenjangan sosial memang
tidak pernah terjadi karena tidak ada yang menonjol di negara penganut
Sosialisme. Negara sangat berpengaruh dalam sistem ini, pengontrol pasar adalah
negara itu sendiri. Tidak ada persaingan dan tidak ada perbedaan antar satu
dengan yang lain. Semua orang sama, tidak ada orang miskin dan tidak ada pula
orang yang kaya. Tidak ada “raksasa” apalagi “kurcaci” di negara ini.
Lalu kepada siapa
Ekonomi Pancasila berpihak? Tidak kedua-duanya. Sistem Ekonomi Pancasila
mengadopsi nilai-nilai yang baik dari keduanya. Kepemilikan tunggal di
Indonesia tidak dilarang, namun kepemilikan tunggal tetap dibatasi agar
kesenjangan sosial maupun disparitas ekonomi tidak terlalu berlebihan. Begitu
pula dengan kepemilikan komunitas, terdapat beberapa perusahaan yang dikelola
dan dikuasai oleh negara sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga
seolah Pancasila berada di tengah-tengah antara “raksasa” dan “kurcaci”.
Namun, di zaman ini
banyak asing yang menanamkan modal di Indonesia tercinta ini. Mereka menggeser
produk dalam negeri yang kental atas tradisi dan kebudayaan dengan produk yang
mereka ciptakan. Entah itu produk yang bermerk, produk yang menguras dompet
berlebih, hingga produk yang berupa sampah. Junk
food, fast food, makanan seperti
itu telah mampu menggeser tempe, tahu dan kawan-kawannya. Terbukti bahwa lebih
banyak food court di mal-mal besar
Indonesia yang menjajakan fast food
daripada warung tempe dan food court
yang menjajakan fast food lebih
diminati pengunjung (terutama masyarakat Indonesia) daripada warung tempe. Padahal
para generasi muda harusnya menyadari bahwa produk yang mereka banggakan itu
tidak lebih baik daripada produk asli Indonesia. Kapitalisme tidak dapat
dilawan dengan diplomasi, apalagi kekerasan. Namun, kapitelisme dapat dilawan
dengan kembalinya kita kepada tradisi asli Indonesia yang menyejahterakan.
Dengan demikian kapitalisme di Indonesia akan hilang perlahan-lahan.
Pertanyaan demi
pertanyaan muncul. Semudah inikah masyarakat Indonesia melupakan jejak sejarah
yang telah mengantarkan Indonesia menuju peradaban? Serapuh inikah mental orang
Indonesia di kala badai globalisasi menerpa? Separah inikah generasi muda tidak
memedulikan nasib bangsanya sendiri?
Helaan napas panjang
menjadi pengiring Indonesia memperbaiki gambaran di masa depan bersamaan dengan
penanaman sikap dari masyarakat Indonesia sendiri. Pencarian jejak sejarah yang
telah banyak tertutup debu asing perlahan dilakukan. Filterisasi kebudayaan
menjadi yang utama di tengah globalisasi yang kian kuat berhembus. Asimilasi
menjadi alternatif ketika budaya asli Indonesia tercoreng budaya asing.
Lagi-lagi penanaman sikap cinta tanah air sangat berperan penting dalam pemurnian
karakter rakyat. Pemurnian karakter tidak hanya untuk memajukan Indonesia di
kancah dunia internasional, namun juga untuk menjadikan Indonesia menjadi
negara kaya akan kepribadian masyarakatnya karena selama ini Indonesia hanya
dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan kebudayaan.
happy reading :)
Comments
Post a Comment