HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL (Bagian 3: Ketiduran vs. Ujian)

Hi! Welcome to my blog

Oke. Kalau di Hidup Mahasiswa Di Atas Normal (Bagian 2: Ngejar-ngejar Professor) saya bahas tentang beban belajar sampai 35 SKS, di bagian 3 ini saya kasih bahasan yang agak normal. Saya pernah kok, kuliah 24 SKS. Sama seperti mahasiswa biasanya.

Beli di Toko Buku Online? Kenali Mana Buku yang Asli dan Bajakan
Saya suka buku, apalagi kamu

 

Tapi, meskipun kuliah 24 SKS, tetap aja ada yang beda. Bedanya, saya kuliah 24 SKS dengan 7 kelas berbeda, 3 angkatan berbeda, 2 gedung kampus berbeda, meskipun satu kampus yang sama. Hah? Gimana? Gimana?

Iya, jadi waktu itu, kuliah saya di kampus lama udah habis teori. Makanya, saya ngebut banget tuh buat nyelesaiin teori di kampus baru. Saya juga pernah ambil 26 SKS. Tapi cuma satu semester aja. Soalnya, di semester berikutnya kebijakan itu dihapus. Katanya sih karena dirasa memberatkan mahasiswa. Padahal mah, bagi saya enak-enak aja, tuh.


“Kok bisa kamu ambil 26 SKS? Aturannya kan 24 SKS?” begitu kata dosen pendamping akademik sekaligus ketua jurusan saya waktu itu. Saya kan nggak tahu ya, ya udah saya jawab aja, “Saya nggak tahu, Pak. Tapi, karena tulisan maksimal ambil SKS saya 26, ya saya ambil saja 26.”

Sambil menandatangani KRS saya, beliau berkata, “Ya sudah, selamat kuliah, meskipun saya sendiri juga masih heran kok bisa input 26 SKS.” Saya cuma nyengir doang, nggak tahu mau jawab gimana.

 

Sebelumnya, waktu awal-awal Bapak pendamping akademik saya itu tahu kalau saya adalah mahasiswa di atas normal, beliau sempat menyatakan keheranannya ke saya.

“Kamu kuliah di dua kampus?” saya cuma ngangguk. “Dua kampus itu negeri semua?” saya ngangguk lagi. “Berarti kamu dapat subsidi dobel, dong!” saya masih nggak paham ketika itu, lalu saya tanya, “maksudnya, Pak?”

Beliau jawab, “Ya kan kalau kuliah di kampus negeri itu tiap mahasiswa dapat subsidi dari pemerintah, karena kamu dua-duanya kuliah di kampus negeri berarti jatah untuk kamu dobel, kan.”

Saya tanya lagi dong dengan muka khawatir, “Waduh, terus bagaimana, Pak?”

Dengan santai dan sambil menandatangani KRS saya (ya, saya selalu ketemu Bapak setiap KRS-an), Bapak berkata, “Ya nggak gimana-gimana, memang mau gimana?” Selalu, saya nyengir doang, nggak tahu mau bilang apa lagi.


Kuliah bersama 3 angkatan berbeda selama satu semester itu punya cerita masing-masing. Karena saya satu-satunya mahasiswa yang nggak mereka kenali, pandangan heran selalu ditujukan ke saya pada awalnya. Di kelas manapun. Di angkatan berapapun. Bahkan sampai di fotokopian deket kampus.


Saya pernah masuk di kelas mahasiswa baru. Hari Senin dan Selasa adalah hari berseragam hitam-putih. Di saat mereka masih memakai kemeja putih, bawahan hitam, dan kerudung hitam, saya dengan percaya diri yang meluap-luap masuk kelas dengan jilbab warna-warni. Setelah masuk, saya duduk di kursi paling belakang (khas mahasiswa lama). Saya konfirmasi ke salah satu mahasiswi, "Ini kelas 1 kan, ya?" Lalu si mahasiswi di depan saya itu mengangguk dan menyalami saya. Dia sebut namanya, lalu saya jawab, "Aku Princess." Enggak ah, becanda doang. Kalau nggak lucu nggak usah ketawa.


Ini percakapan ya, gantian gitu. Saya kudet, nggak ngasih 👩 sama 👧. Bisa bacanya?

Dia pikir saya kakak tingkatnya. Kating. Bukan bawang kating. Bawang kating juga bukan bawang kakak tingkat, ya. 

Balik lagi, dia mikir kalau saya kating. Ya emang iya, sih. Tapi saya coba becandain dengan pasang ketawa aja. Terus saya tanya lagi, "Padahal? Kating atau bukan?" Eh, dia bilang bukan. Lah! Semakin menarik saja, sodara.

Bodo amat lah, ya. Saya bahagia banget dikira masih mahasiswa baru (maba). Iya, sih, maba. Mahasiswa basi. 

Tapi, kebahagiaan saya selesai pas dosen pengampu waktu itu justru memperkenalkan saya di depan kelas. Kebetulan dosen pengampunya kenal sama saya. Ya udah deh, kedok saya terbongkar. Seluruh kelas jadi tahu saya siapa. Termasuk mahasiswi yang tanya sama saya tadi. Dia nengok ke saya dengan muka heran, "Jadi, kamu kating bukan, sih?" Ya elah Maemunaaaah, masih ditanyain juga. Saya nepok dahi, eh dagu! Eh, dahi atau dagu, sih?


Di kelas itu, saya nemuin teman diskusi yang seru banget. Bisa diskusi soal masalah hidup, dunia percintaan monyet (monyet-monyet yang saling cinta), sampai soal pendidikan seks. Kalau Anda tertarik untuk diskusi juga, bisa hubungi dia di nomor ini: 085xxxxxxxxx. 

Di kelas itu juga, mahasiswa termudanya punya selisih 5 tahun sama saya. Saya berasa tua banget. 

Se-absurd ini di aplikasi chat, aslinya? Tambah gila.


Pengalaman kuliah sama 6 kelas lainnya juga nggak kalah seru. Tapi, ada satu hal yang saya rasa penting. Ini beneran, ya. Saya serius. Nih, saya share.

Tips buat kalian yang sering pindah-pindah di tempat dengan banyak orang. Konteksnya kaya kuliah di banyak kelas mirip saya, ya. Awalnya, sebisa mungkin kita harus masuk di atmosfer kelas yang lagi kita tempati itu. Nah, orang sebanyak itu kan enggak semuanya akan kenal dan dekat sama kita. Makanya, saya selalu usahain biar tiap kelas tuh ada satu orang yang bisa saya percaya soal informasi kelas. Termasuk soal tugas dan deadline pengumpulan. Anak deadline banget saya.

Pokoknya, saya selalu percaya sama eksistensi. Eksis itu ada, buatlah supaya keberadaan kita itu diakui mereka. Kalau kita dianggap ada, mereka pasti bakal ngebantu kuliah kita biar lancar jaya. Tapi ya jangan cuma minta dibantu aja, kita juga harus ngebantu mereka. Ya, timbal balik yang baik, lah. Saya pernah dibom telfon dan chat sama salah satu teman di kelas angkatan bawah saya.

Parah kalau saya mah! Ini baru dua kasus yang terungkap. Yang lainnya? Masih banyak!

Saya udah khawatir banget ada masalah apa. Kok tiba-tiba handphone saya jadi ramai. Biasanya kan sunyi dan sepi tiada penghuni.

Eh, ternyata dia bom chat ke saya karena saya ketiduran di jadwal ujian akhir semester. Ya memang waktu-waktu ujian sih, sayanya aja yang absurb. Akhirnya saya ngelobi dosen yang bersangkutan. Untungnya bapak dosen pas baik, jadi saya dibolehin ikut ujian susulan sendiri. Saya diketawain parah waktu ketemu sama teman saya yang membombardir chat setelah ujian susulan. Saya sok-sokan chill aja. Padahal, pikiran udah ilang karena mikir ujian. Tangan juga masih pegel nulis jawaban ujian tadi. 

Btw, soal ketiduran dan ujian ini, ada juga dosen yang cuma read watsap saya. Artinya? Ya saya nggak dibolehin ikut ujian susulan. Terus gimana? Ya udah, mau gimana? Untungnya, ujian akhir mata kuliah itu opsional. Jadi, kalau nilai proses kita bagus, tanpa ujian akhir pun nilai tetap keluar. Ada yang kaya gitu? Ada. Itu buktinya di saya kaya gitu.


Kuliah di 7 kelas itu juga hasil dari capcipcup mata kuliah yang harus saya selesaiin. Ada beberapa mata kuliah wajib yang belum saya ambil di dua semester sebelumnya. Saya juga harus ambil mata kuliah di semester asli saya. Demi neptunus dan jadwal yang nggak berantakan, saya harus rela buat kuliah di dua gedung kampus yang berbeda lokasi. Jarak antar gedung kampus sejauh 25 menit. Soalnya udah beda kabupaten. Sad.

Demi dewa-dewi di animasi Krishna dan jadwal yang sesuai, saya juga harus bisa adaptasi di tujuh kelas yang beda itu. Sebetulnya, adaptasi bagi saya sih nggak terlalu sulit. Bagian paling sulit justru ketika proses pengerjaan tugas mata kuliah. Apalagi kalau tugasnya itu tugas kelompok. Saya nggak bisa ngerjain sendiri dong pastinya. Saya butuh teman. Teman hidup. Apasih.

Mata kuliah dengan tugas kelompok ini mendadak jadi butuh penyesuaian tingkat tinggi. Termasuk soal kerelaan teman-teman sekelompok saya buat menerima anggota kaya saya yang nggak cuma punya jadwal berbeda, tapi juga sedikit geser otaknya. Terima kasih banget kalian! 


Akhirnya, semandiri apapun kita, pastilah butuh orang lain. Penting banget untuk punya teman di setiap kelas, di manapun. Sekadar buat ngingatin kalau ada jadwal kuliah atau kelas yang berubah. Atau bahkan buat membombardir chat pas ketiduran waktu ujian kaya saya. Manusia-manusia di tujuh kelas berbeda tadi juga bikin saya banyak belajar buat menghargai orang lain, menghormati perbedaan yang ada, dan sebisa mungkin jangan ngebandingin sama apapun atau siapapun. Termasuk diri kita sendiri, we have our own life goal, so do they. Don’t ruin their day. Don’t mess up for anything. Let’s focus on our path! 


 

Q: Kok bisa sih kuliah dua tempat?

A: Ini nih pertanyaan template yang seriiiing banget saya terima. Next episode, ya! Tunggu minggu depan!


Comments

Popular posts from this blog

Johnny and Grandpa: Inside Our Solid Blood

HIDUP MAHASISWA DI ATAS NORMAL (Bagian 6: Balada Ospek Mahasiswa Cupu)

Randomly of Me: A New Beginning